‘SEMBAH SWARA’ YASUDAH, KOMPAS, 25 APRIL 2012

KOMPAS, RABU, 25 APRIL 2012 – NUSANTARA

‘’SEMBAH SWARA’’ YASUDAH

Yang Bising yang Dititinya...

Malam itu, kami menyaksikan tiga sosok berkumpul di Balai Soedjatmoko, Solo.
Yasudah (56), Rendra, dan sosok yang lebih dulu lagi, Ki Ageng Suryomentaram.
Dua yang terakhir, tentu saja sudah almarhum. Namun ketiganya bersama meniti sesuatu.



Oleh HARIADI SAPTONO

Melalui pertunjukannya, musisi kontemporer ‘keluaran’ Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan penggagas SIEM (Solo International Ethnic Music) sejak 2007 itu telah menjernihkan keruwetan dan kebisingan yang kita hadapi tiap hari. Cara pendekatan, mengakibatkan teknik bermain Yasudah, dan arah permainan-nya seakan-akan menggandeng pesan dua sosok penyimpul (sebagian) hakikat sangkan paraning dumadi (dari mana dan akan ke mana seisi alam ini) tadi.

Dengan workshop dua jam, 12 remaja+dewasa dari desa-desa di Salatiga, gabungan grup Teater Getar dan Teater Kronis, ..., dan 7 bocah tetangga Yasudah di Kampung Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon Solo yang sebelumnya tak memiliki kemampuan bermain musik, malam itu berani tampil dengan mata berbinar, dan membuat sebagian penonton tersentuh hatinya. <<teralat)

Meski tajuk pertunjukannya bertajuk Pentas Musik Kontemporer Sembah Swara karya Yasudah, ia dengan girang memberi ruang bermain bagi temannya musisi kontemporer Salatiga, Bambang Dwiatmoko, teaterawan Solo eks Bengkel Teater Rendra, Romo Lawu Warta (sekitar 63 tahun). Secara spontan pula panggungnya menyedot minat Sekjend Dewan Musik Indonesia Didied Mahaswara dari Jakarta, dan musisi Bram Makahekum dari grup musik Kampungan asal Jogya untuk turut tampil di sana.

Yasudah memulai dengan menekan tuts organ dengan pilihan bunyi instrument piano, kemudian nada-nada yang dipilih ditransisikan ke instrument dan nada gamelan pada alat yang sama. Dan, ia menganalogikan demam lagu “Iwak Peyek” yang kini digemari publik, sebagai perjumpaan proses dan progres seniman dan publik pendengarnya.

Perjumpaan itulah, salah satu sisi terkuat Yasudah. Sisi lainnya “Sembah Swara” yang dipergelarkannya, yaitu perjumpaan individu dengan alam raya (bumi) yang makin bising dan makin ruwet saat ini.

Pada sisi kedua itulah, niscaya Yasudah menggunakan “ngelmu musiknya”.

Begini penjelasannya. Saat jeda, setelah 12 remaja+dewasa dari Salatiga tampil membawakan empat lagu mereka, Yasudah menggoda mereka. Mereka memegang beduk, tambur, gitar, tentungan, potongan kayu, dan potongan bambu. <<teralat)
Lalu ia bagi-bagi sejumlah anak ke dalam kelompok birama. Ada yang dimintanya dengan birama ketukan 2, ada dengan ketukan 3, 4, 5, sampai 8.
Lalu mulailah mereka dituntun satu persatu. Yang berbirama dengan dua ketukan dituntunnya pertama, lalu birama tiga ketukan, empat, dan seterusnya.
Lalu vokal, instrumen dengan fungsi melodi silakan masuk, lalu vokal... lalu yang lain-lain. Beberapa kali permainan itu dilakukan dengan varian dan tingkat kesulitan berbeda untuk orang tua dan bocah-bocah.

Lalu dia menjelaskan. “Dalam kehidupan nyata, di pertokoan, atau di jalan-jalan, kalau semua kita masukkan ke dalam telinga kita bising sekali. Kita harus menggunakan irama kita sendiri. Silahkan memilih birama yang mana, tapi bagaimana alam bicara dengan kebisingannya tidak perlu kita tinggalkan,” ujar Yasudah.

Dalam bingkai bermusik seperti itulah jeritan dan gerak tubuh Mbah Lawu Warta beserta bunyi batang bambu yang ditiupnya, atau permainan organ dan efek bunyi yang dipertontonkan Bambang Dwiatmoko, gerak tari seorang penari pria, atau berbagai bunyi yang dipadu oleh remaja-remaja dari teater Getar dan Teater Kronis diwadahi Yasudah. Padahal remaja-remaja itu mengaku selama ini lebih larut dengan lagu-lagu D’Bagindass dan D’Masiv.

Sembah Swara. Lalu seperti temuan Rendra yang kebetulan disuarakan pula oleh Bram Makahekum (eks bengkel Teater) malam itu saat tampil dalam iramanya sendiri : Kemarin dan esok adalah hari ini// Bencana dan keberuntungan sama saja//Langit di luar, langit di dalam, bersatu dalam jiwa (puisi Rendra).

Yasudah dengan eksperimennya malam itu berhasil meyakinkan dan memengaruhi publik bahwa pendengaran kreatif bukan saja menghasilkan pilihan “birama” hidup yang mampu beradaptasi. Pada saat bersamaan individu juga berhasil mengheningkan diri di dalam kebisingan dan keruwetan zaman.

Dari sisi pertunjukan, Yasudah telah memainkan paha kultural Jepang: Ichi-Go, Ichi-E, suatu pertunjukan dan pilihan hidup “for this time only.” atau “one chance in a lifetime”.

Saat pertunjukan berlangsung, dan bagian buntut pertunjukan Yasudah beberapa kali memainkan lagu Waljinah – Yen Ing Tawang Ana Lintang dalam beberapa versi, seorang tukang becak jauh di belakang penonton yang duduk di kursi sendirian berjoget dengan “biramanya” sendiri. Ia menutup mata, dan tangannya melayang-layang seperti terbang.

Lalu dua tukang pijat, ibu-ibu yang mengenakan kain jarik, juga duduk menonton.

Saat itu, langit Solo mendung dan langit keruh...

Gabungan momentum itu sekonyong-konyong juga menghadirkan Ki Ageng Suryomentaram, spiritualis dari Keraton Yogyakarta ke tengah panggung.

Dia yang memilih meniti hidup dengan pakem ojo getun, lan ojo sumelang. Jangan kecewa dan jangan khawatir akan hari lalu dan hari esok, rasanya melewati titian yang sama dengan Yasudah. Ki Ageng menambahkan, stamina batin dan roso tatag. Rasa tabah meniti titian panjang itulah kunci permainannya.

Dalam konteks proses kreatif Yasudah, ia telah berproses dan mencapai progres pada tahapan mampu “mengalami dan membentuk sistem pendengaran kreatif”. “Itu sikap kreatif kita bagaimana, dan menanggulangi kebisingan dan keruwetan hidup ini.”

Hari Budiono, Kepala Balai Soedjatmoko Solo menggugat, kok yang hit nomor lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang?


Barangkali, dia sengaja memilih ‘titian besar” untuk publik Solo...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar