‘’SEMBAH SWARA’’ YASUDAH
Yang Bising
yang Dititinya...
Malam itu, kami menyaksikan tiga sosok berkumpul di
Balai Soedjatmoko, Solo.
Yasudah (56), Rendra, dan sosok yang lebih dulu lagi,
Ki Ageng Suryomentaram.
Dua yang terakhir, tentu saja sudah almarhum. Namun
ketiganya bersama meniti sesuatu.
Oleh HARIADI SAPTONO
Melalui pertunjukannya,
musisi kontemporer ‘keluaran’ Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan penggagas
SIEM (Solo International Ethnic Music) sejak 2007 itu telah menjernihkan
keruwetan dan kebisingan yang kita hadapi tiap hari. Cara pendekatan,
mengakibatkan teknik bermain Yasudah, dan arah permainan-nya seakan-akan
menggandeng pesan dua sosok penyimpul (sebagian) hakikat sangkan paraning
dumadi (dari mana dan akan ke mana seisi alam ini) tadi.
Dengan workshop dua jam,
12 remaja+dewasa dari desa-desa di Salatiga, gabungan grup Teater Getar dan
Teater Kronis, ..., dan 7 bocah tetangga Yasudah di Kampung Baluwarti,
Kecamatan Pasar Kliwon Solo yang sebelumnya tak memiliki kemampuan bermain
musik, malam itu berani tampil dengan mata berbinar, dan membuat sebagian
penonton tersentuh hatinya. <<teralat)
Meski tajuk pertunjukannya
bertajuk Pentas Musik Kontemporer Sembah Swara karya Yasudah, ia dengan girang
memberi ruang bermain bagi temannya musisi kontemporer Salatiga, Bambang
Dwiatmoko, teaterawan Solo eks Bengkel Teater Rendra, Romo Lawu Warta (sekitar
63 tahun). Secara spontan pula panggungnya menyedot minat Sekjend Dewan Musik
Indonesia Didied Mahaswara dari Jakarta, dan musisi Bram Makahekum dari grup
musik Kampungan asal Jogya untuk turut tampil di sana.
Yasudah memulai dengan
menekan tuts organ dengan pilihan bunyi instrument piano, kemudian nada-nada
yang dipilih ditransisikan ke instrument dan nada gamelan pada alat yang sama.
Dan, ia menganalogikan demam lagu “Iwak Peyek” yang kini digemari publik,
sebagai perjumpaan proses dan progres seniman dan publik pendengarnya.
Perjumpaan itulah, salah
satu sisi terkuat Yasudah. Sisi lainnya “Sembah Swara” yang dipergelarkannya,
yaitu perjumpaan individu dengan alam raya (bumi) yang makin bising dan makin
ruwet saat ini.
Pada sisi kedua itulah, niscaya Yasudah menggunakan
“ngelmu musiknya”.
Begini penjelasannya. Saat
jeda, setelah 12 remaja+dewasa dari Salatiga tampil membawakan empat lagu
mereka, Yasudah menggoda mereka. Mereka memegang beduk, tambur, gitar,
tentungan, potongan kayu, dan potongan bambu. <<teralat)
Lalu ia bagi-bagi sejumlah
anak ke dalam kelompok birama. Ada yang dimintanya dengan birama ketukan 2, ada
dengan ketukan 3, 4, 5, sampai 8.
Lalu mulailah mereka
dituntun satu persatu. Yang berbirama dengan dua ketukan dituntunnya pertama,
lalu birama tiga ketukan, empat, dan seterusnya.
Lalu vokal, instrumen
dengan fungsi melodi silakan masuk, lalu vokal... lalu yang lain-lain. Beberapa
kali permainan itu dilakukan dengan varian dan tingkat kesulitan berbeda untuk
orang tua dan bocah-bocah.
Lalu dia menjelaskan.
“Dalam kehidupan nyata, di pertokoan, atau di jalan-jalan, kalau semua kita
masukkan ke dalam telinga kita bising sekali. Kita harus menggunakan irama kita
sendiri. Silahkan memilih birama yang mana, tapi bagaimana alam bicara dengan
kebisingannya tidak perlu kita tinggalkan,” ujar Yasudah.
Dalam bingkai bermusik
seperti itulah jeritan dan gerak tubuh Mbah Lawu Warta beserta bunyi batang
bambu yang ditiupnya, atau permainan organ dan efek bunyi yang dipertontonkan
Bambang Dwiatmoko, gerak tari seorang penari pria, atau berbagai bunyi yang
dipadu oleh remaja-remaja dari teater Getar dan Teater Kronis diwadahi Yasudah.
Padahal remaja-remaja itu mengaku selama ini lebih larut dengan lagu-lagu
D’Bagindass dan D’Masiv.
Sembah Swara. Lalu seperti
temuan Rendra yang kebetulan disuarakan pula oleh Bram Makahekum (eks bengkel
Teater) malam itu saat tampil dalam iramanya sendiri : Kemarin dan esok adalah hari ini// Bencana dan keberuntungan sama
saja//Langit di luar, langit di dalam, bersatu dalam jiwa (puisi Rendra).
Yasudah dengan
eksperimennya malam itu berhasil meyakinkan dan memengaruhi publik bahwa
pendengaran kreatif bukan saja menghasilkan pilihan “birama” hidup yang mampu
beradaptasi. Pada saat bersamaan individu juga berhasil mengheningkan diri di dalam
kebisingan dan keruwetan zaman.
Dari sisi pertunjukan,
Yasudah telah memainkan paha kultural Jepang: Ichi-Go, Ichi-E, suatu
pertunjukan dan pilihan hidup “for this time only.” atau “one chance in a
lifetime”.
Saat pertunjukan
berlangsung, dan bagian buntut pertunjukan Yasudah beberapa kali memainkan lagu
Waljinah – Yen Ing Tawang Ana Lintang dalam beberapa versi, seorang tukang
becak jauh di belakang penonton yang duduk di kursi sendirian berjoget dengan
“biramanya” sendiri. Ia menutup mata, dan tangannya melayang-layang seperti
terbang.
Lalu dua tukang pijat,
ibu-ibu yang mengenakan kain jarik, juga duduk menonton.
Saat itu, langit Solo
mendung dan langit keruh...
Gabungan momentum itu
sekonyong-konyong juga menghadirkan Ki Ageng Suryomentaram, spiritualis dari
Keraton Yogyakarta ke tengah panggung.
Dia yang memilih meniti
hidup dengan pakem ojo getun, lan ojo
sumelang. Jangan kecewa dan jangan khawatir akan hari lalu dan hari esok,
rasanya melewati titian yang sama dengan Yasudah. Ki Ageng menambahkan, stamina
batin dan roso tatag. Rasa tabah
meniti titian panjang itulah kunci permainannya.
Dalam konteks proses kreatif Yasudah, ia telah
berproses dan mencapai progres pada tahapan mampu “mengalami dan membentuk
sistem pendengaran kreatif”. “Itu sikap kreatif kita bagaimana, dan
menanggulangi kebisingan dan keruwetan hidup ini.”
Hari Budiono, Kepala Balai
Soedjatmoko Solo menggugat, kok yang hit nomor lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang?
Barangkali, dia sengaja
memilih ‘titian besar” untuk publik Solo...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar